Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai sikap tidak kooperatif Gubernur Papua Lukas Enembe dalam proses hukum, bukan hanya bentuk perlawanan terhadap KPK, tetapi juga pembangkangan terhadap kedaulatan hukum nasional Indonesia. Menurutnya, potensi pembangkangan tersebut bukan hanya dilakukan Lukas, tetapi juga oleh kuasa hukum, dokter pribadi, dan para pembela hukumnya. “Mereka dapat dianggap merintangi atau menghalangi upaya hukum yang berlaku, sesuai KUHP oleh aparat penegak hukum", kata Chudry dalam diskusi yang digelar Moya Institute, yang bertajuk “Drama Lukas Enembe: KPK Diuji”, Jumat (21/10/2022).
Seseorang yang terbelit kasus itu, dikatakan Chudry, dapat dibuktikan sakit atau tidak dari pemeriksaan medis yang diatur oleh penegak hukum. "Bukan dari keterangan pihak tersangka, apalagi pakai dokter pribadi segala," kata dia Sementara itu, Ketua Forum Badan Musyawarah Tanah Papua, Frans Ansanai mengungkapkan, penetapan tersangka Lukas merupakan fenomena yang berbeda dengan gubernur daerah lain yang juga menjadi tersangka.
"Sebaiknya Lukas berbesar hati menghadapi pemeriksaan hukum dirinya dan tidak berkelit menggunakan hukum adat, yang jelas tidak ada nalar hukumnya," kata dia. Sementara itu, politisi refomasi Mahfudz Siddiq menjelaskan bahwa kasus hukum yang menjerat Lukas dapat saja terjadi atad semua kepala daerah di Indonesia. Hal itu menurut Mahfudz tidak perlu melihat kasus Lukas sebagai sesuatu yang istimewa, karena Papua adalah daerah otonomi khusus. Dicokoknya eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf oleh KPK merupakan salah satu contoh nyata.
“Kasus hukum pernah terjadi pada Gubernur Irwandi Yusuf karena alokasi anggaran otsus. Jadi otsus di Aceh dan Papua adalah satu bagian yang sudah terbangun dan berjalan, sehingga harus disikapi wajar atau biasa saja,” kata Mahfudz. Pengamat politik dan isu strategis Imron Cotan mengemukakan bahwa Lukas Enembe adalah subjek hukum Indonesia, sehingga harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku. "Justru, Lukas Enembe harus menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemimpin sejati, dalam menghadapi kasus hukumnya. Lagipula yang bersangkutan belum tentu bersalah," ujarnya.
“Sebagai seorang pemimpin Lukas Enembe harus memberikan contoh bahwa dia adalah warga negara yang patuh terhadap hukum di mata masyarakatnya. Jangan berdalih mengatasnamakan masyarakat adat Papua, meminta diadili secara adat”, imbuh Imron. Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menilai, pemerintah sejauh ini telah memberikan perhatian lebih untuk pembangunan Papua dan kesejahteraan masyarakatnya. "Namun sayangnya, justru kebijakan positif pemerintah dirusak oleh pemimpin daerahnya sendiri. Lukas bagaimana pun harus bertanggung jawab secara hukum atas kasus yang dihadapinya," tandasnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua. Hanya saja, KPK sendiri belum mengumumkan secara resmi penetapan tersangka Lukas. Komisi antikorupsi pun telah mencegah Lukas Enembe bepergian ke luar negeri selama enam bulan terhitung sejak 7 September 2022 hingga 7 Maret 2023.
Merujuk laporan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK), Lukas Enembe disebut sempat melakukan transaksi keuangan dalam jumlah jumbo. Di antaranya adalah transaksi di sebuah kasino yang disebut bernilai hingga Rp560 miliar. PPATK pun telah memblokir sejumlah rekening milik Lukas dan keluarganya.